Buruh Jabar Minta Satu Poin SK UMK Dihapus, Gubernur: Itu Untuk Cegah PHK

Menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto ada satu poin yang dinilai memberatkan buruh.

Chandra Iswinarno
Senin, 02 Desember 2019 | 16:32 WIB
Buruh Jabar Minta Satu Poin SK UMK Dihapus, Gubernur: Itu Untuk Cegah PHK
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. [Ayobandung.com]

SuaraJabar.id - Meskipun Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur soal penetapan besaran Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yang mencabut Surat Edaran (SE) Gubernur sebelumnya, ternyata tetap diprotes buruh di Jawa Barat.

Ribuan buruh se-Jawa Barat yang tergabung ke dalam 15 serikat pekerja tetap menggelar aksi unjuk rasa di Gedung Sate Bandung pada Senin (2/12/2019).

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto mengatakan, pihaknya mengapresiasi turunnya SK penetapan UMK 2020 tersebut. Namun, lanjut Roy, ada satu poin yang dinilai merugikan kaum buruh, yakni pada poin D diktum ketujuh.

Dalam poin tersebut, secara umum memperkenankan industri terutama padat karya yang tidak mampu menggaji karyawannya sesuai besaran UMK 2020 untuk melakukan diskusi langsung dua pihak atau bipartit untuk menentukan besaran upah yang disepakati.

Baca Juga:Tuntutan Upah Dipenuhi, Buruh di Depok Batal Demo Ridwan Kamil

"Kami meminta kepada Gubernur Jabar agar poin D diktum ketujuh ini dihapuskan dalam SK karena bagaimanapun ketika (perusahaan) diberi ruang untuk tidak melakukan penangguhan pembayaran upah sesuai ketentuan UU dan didiksusikan secara bipartit, maka tetap ada kemungkinan bahwa upah tak akan naik," ungkap Roy pada wartawan sebelum memulai aksi seperti dilansir Ayobandung.com-jaringan Suara.com.

Menanggapi tuntutan tersebut, Ridwan Kamil menyatakan dirinya telah memutuskan hal tersebut secara matang. Poin yang dipermasalahkan oleh para buruh, menurutnya, justru hadir untuk memfasilitasi pengusaha yang selama ini kesulitan menggaji karyawannya hingga berujung pada relokasi usaha atau penutupan permanen.

Ridwan mengemukakan hal tersebut terutama diprioritaskan pada industri padat karya yang angka relokasi dan penutupan pabriknya meningkat dalam tiga tahun belakangan.

"Di diktum ketujuh itu ada kalimat perlindungan khusus untuk industri padat karya untuk melakukan negosiasi upahnya secara bipartit saja, tanpa harus ada ancaman macam-macam. Nanti akan dilindungi dan disetujui oleh pemerintah," ungkapnya.

"Hal yang penting tujuan saya adalah mencegah PHK dan pindahnya perusahaan-perusahaan karena tidak sanggup bayar UMK. Untuk padat karya kami inisiasikan perlindungannya dengan cara yang bermartabat melalui poin yang saya sampaikan," ungkapnya ketika ditemui di Masjid Pusdai Bandung, Senin (2/12/2019).

Baca Juga:Upah Murah jadi Dagangan Pemerintah Gaet Investor, Buruh: Itu Sangat Konyol

Ridwan juga mengimbau perusahaan terkait untuk tidak memanfaatkannya untuk berpura-pura tidak mampu menggaji karyawannya sesuai UMK. Untuk mengantisipasinya, Pemprov Jabar melalui Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) disebut akan ikut mengawasi.

"Yang penting harus ada persetujuan dari Pemprov Jabar. Jadi kami ini wasit. Jangan ada yang mengaku tidak mampu padahal mampu," ujarnya.

Sehingga, dia menegaskan, tidak akan mengubah poin tersebut meskipun para buruh saat ini menuntut hal tersebut untuk dihapuskan atau direvisi.

"Enggak mau. Sudah, segitu saja," tegasnya.

Sebelumnya, Peneliti Pusat Studi Pengembangan Bisnis dan Kelembagaan Universitas Padjajaran M Rizal menyebutkan, hasil kajiannya menunjukan sebanyak 45 pabrik garmen orientasi eskpor di Jabar tutup selama tiga tahun terakhir.

Sementara, tujuh pabrik melakukan relokasi ke Jawa Tengah. Rizal menilai hal inilah yang menyebabkan Ridwan Kamil sebelumnya mengeluarkan Surat Edaran alih-alih SK penetapan besaran UMK di Jawa Barat.

"Untuk menyelamatkan pabrik dan industri ini Pak Gubernur memutuskan keputusan yang mungkin tidak populis," ungkapnya di Bandung belum lama ini.

Kalaupun UMK ditetapkan, dia mengatakan, selama ini angka kepatuhan industri terhadap besaran tersebut tak pernah lebih dari 30 persen.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini