SuaraJabar.id - Tepat 76 tahun lalu, Ir. Soekarno yang didampingi Muhammad Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi itu menjadi sebuah tanda Republik Indonesia telah menjadi negara merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tanga negara manapun.
Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu disambut seluruh Rakyat Indonesia. Termasuk di Cimahi yang kalau itu belum menjadi sebuah kota yang mandiri.
Namun informasi kemerdekaan itu datangnya terlambat sehingga perayaannya pun baru dilakukan keesokan harinya.
Menurut pegiat sejarah, Machmud Mubarok, warga Cimahi kalau itu baru bisa merayakan kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945 setelah mengetahui adanya proklamasi yang dibacakan langsung Soekarno yang kalau itu menjadi Presiden Republik Indonesia.
Baca Juga:Penuh Semangat, Difabel di Kabupaten Tegal Gelar Upacara Kemerdekaan
Ketika itu warga berkumpul di Alun-alun dan Pendopo Cimahi. Tokoh yang kalau itu menjadi motor penggeraknya kemungkinan adalah Erom dan Raden Embang Kartawidjaja. Keduanya merupakan guru.
"Warga berkumpul sehari di Alun-alun setelah proklamasi. Informasinya memang tidak langsung cepat diterima warga," ujar Machmud saat dihubungi Suara.com, Selasa (17/8/2021).
Namun perayaan itu tak dilakukan secara frontal seperti dengan melakukan konvoi. Sebab ketika itu masih ada Jepang yang bersenjata lengkap masih mengintai di Cimahi.
Dari sinilah perjuangan membuat Indonesia benar-benar merdeka dilakukan di Cimahi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan itu, perang tak hanya dilakukan secara terorganisir. Saat itu yang disebut masa bersiap, warga sipil pun larut ke dalam euforia kemerdekaan sehingga tiba-tiba menjadi "buas".
Baca Juga:Momen Kemerdekaan, Ini Rekomendasi 7 Game Android Buatan Anak Bangsa
Orang-orang asing seperti Belanda dan China yang kalau itu masih tinggal di Cimahi jadi sasaran serangan warga.
Seperti yang dialami seorang warga Belanda pemilik toko roti terkenal ketika itu. Tahun 1945 warga asing tersebut diserang hingga tewas.
"Pemenggalan dilakukan oleh pribumi karena sebagai pelampiasan kepada orang-orang asing yang tinggal di Cimahi," sebut Machmud.
Kemudian menurut cerita warga zaman dulu, terang Machmud, di sudut Jalan Kaum juga dulunya dijadikan tempat pembantaian warga asing oleh para pemuda.
Di mana ketika itu ditengah euforia kemerdekaan, warga asing yang ada di Cimahi dibawa ke tempat tersebut untuk dibantai.
Selain serangan yang dilakukan secara sporadis yang dilakukan warga tanpa terorganisir, berbagai perlawanan pun dilakukan ketika itu oleh para pejuang.
Pertempuran dimulai ketika para pejuang berkumpul di kawasan Alun-alun Cimahi. Mereka bersiap menyerang orang-orang Belanda yang dinilai sebagai penjajah yang masih tersisa di Cimahi.
Sekitar tahun 1946, pasukan regu Kompi Daeng bersama Laskar Banteng Cimahi, BARA dan Detasemen Abdul Hamid melakukan penyergapan dan penembakan ke arah truk konvoi para penjajah.
Terjadi pertempuran di sekitar Alun-alun Cimahi di mana pasukan pribumi saat itu awalnya menerima informasi bahwa akan ada konvoi pasukan Belanda dari arah Bandung menuju arah Padalarang.
"Ada juga pencegatan pencegatan truk sekutu yang ke arah Padalarang, di Tagog, Perempatan Cihanjuang, dengan tujuan mengambil senjata, truk, dan pembunuh sekutunya," terang Machmud.
Ketika itu para pejuang hanya mengandalkan peninggalan jepang saja atau mortil-mortil hasil rampasan. Sehingga ketika itu tak menghasilkan kekalahan bagi sekutu.
Malah sebaliknya pasukan lokal dipaksa mundur sementara dari wilayah Cimahi ke daerah yang lebih aman dari Belanda.
"Namun ketika sudah aman, Belanda sering melakukan operasi ke daerah selatan melewati Sungai Citarum, sehingga ada salah satu jembatan yang sengaja di bom agar belanda tidak bisa lewat," sebut Machmud.
Titik pertempuran di Kota Cimahi juga terjadi di kawasan Cimindi, Leuwigajah hingga Baros (Jalan HMS Mintaredja) yang dilalui saat jelajah edisi Hati Pahlawan Nasional 2020. Kompi Daeng lagi-lagi terlibat dalam pertempuran tersebut.
Kemudian Jembatan Tagog juga dulunya merupakan titik pertempuran. Tokoh yang terlibat di dalamnya adalah Kompi Abdul Hamid dan berbagai laskar yang ada saat itu.
Pertempuran paling heroik terjadi di sekitar Penjara Poncol di Kalidam dan Jalan Gatot Subroto yang dulunya tangsi dijadikan tangsi Belanda.
Pertempuran yang digawangi berbagai kompi, laskar, Badan Keamanan Rakyat (BKR) hingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) itu terjadi selama 4 hari 4 malam.
"Hanya saja gak berbuah kemenangan, karena saat itu terbatas oleh senjata. Setelah itu, tepatnya tahun 1947 tidak ada serangan karena pada mengungsi," bebernya.
Selain itu, ada tempat-tempat lainnya yang dulunya jadi tempat perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah. Di antaranya Alun-alun Cimahi, Babakan Kandanguncal, dan Babakan Santri (Gunung Bohong).
"Jadi banyaknya peperangan di Cimahi dilakukan setelah kemerdekaan meski dalam waktu yang tidak lama hanya sampai tahun 1946," terangnya.
Ada sejumlah nama yang dulunya terlibat dalam peperangan melawan penjajah di Kota Cimahi. Di antaranya Kompi Daeng Muhammad Ardiwinata, Kompi Ade Arifin, Embang Ardiwidjaja, Kapten Ishak, Sukimun hingga Usman Dhomiri.
Bahkan beberapa nama di antaranya kini sudah diabadikan sebagai nama-nama jalan di Kota Cimahi. Seperti Jalan sekitaran Cihanjuang yang diberinama Jalan Daeng Muhammad Ardiwinata dan sekitaran Padasuka yang diberinama Jalan KH. Usman Dhomiri hingga Sukimun.
Namun sejak pertempuran 4 hari 4 malam, para pejuang dan rakyat mulai mengungsi ke wilayah selatan lantaran kekuatan Belanda saat itu sulit untuk ditembus.
Menurut catatan sejarah, terang Machmud, tahun 1947 sudah banyak tokoh yang bergerilya di luar Cimahi seperti Pangalengan, Garut, Ciwidey, dan lain-lain.
"Jadi sampai tahun 1959 kehidupan Cimahi seperti Eropa Belanda karena sudah diduduki kuat oleh pasukan Belanda," tukas Machmud.
Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki