Langkah ini juga menunjukkan pergeseran cara birokrasi berkomunikasi. Di tengah era digital yang riuh, di mana kepercayaan publik terhadap pernyataan resmi pemerintah sering kali rendah, pendekatan emosional dan simbolik seperti ini bisa jadi jauh lebih efektif dalam menembus apatisme warga.
Keberanian manuver ini semakin terkonfirmasi dengan sikap Pemkab Bogor terkait potensi pelanggaran hak cipta dan royalti. Alih-alih menghindar, mereka justru pasang badan.
"Yah kita juga kan ngambil dari itu ya, lagu itu kan lagu nasional juga. Tidak keberatan sih kalau diprotes gara-gara royalti," tegas Ajat.
Sikap ini menggarisbawahi satu hal: pesan yang ingin mereka sampaikan jauh lebih berharga daripada potensi denda finansial.
Baca Juga:Pemkab Bogor Wajibkan Putar Lagu Ibu Pertiwi di Lampu Merah hingga Stasiun, Siap Tanggung Royalti?
Kesediaan menanggung risiko royalti adalah penegas bahwa kebijakan ini bukan proyek iseng, melainkan sebuah pernyataan yang diperhitungkan dengan matang. Mereka siap "membayar" harga untuk memastikan "protes sunyi" mereka terus menggema di seluruh penjuru Bogor.